Cerpen Tentang Kehidupan Santri: Ghosob
"Cepat ngaku!" Seseorang berteriak ditengah sunyi nya malam memecahkan
keheningan.
Selesainya kami dari belajar malam bersama di masjid sampai hampir tengah
malam ini belum ada satupun dari kami yang berani tidur bahkan mengantuk.
Semua santri asrama gedung satu dikumpulkan bersama dalam keadaan
tegang.
Tidak seperti pada kumpulan-kumpulan biasanya yang hanya berkumpul per kamar
untuk melaksanakan pengabsenan sebelum tidur, namun kali ini kamar satu dan
dua dikumpulkan bersama.
Seluruh pengurus kamar berdiri mengelilingi kami para santri penghuni dari
kelas satu sampai kelas tiga di gedung satu ini.
Disoroti nya kami satu persatu oleh kakak kelas lima, tidak lain kakak kelas
tertinggi di gedung ini. Karena mereka diamanatkan untuk membimbing dan
menjaga kami.
Tidak seperti perkumpulan pada hari-hari biasa yang hanya kumpul untuk
pengabsenan sebelum tidur yang hanya memakan waktu hanya 5-10 menit berikut
beberapa pengumuman penting.
Tapi kali ini sudah satu jam lewat kami masih duduk tegang memperhatikan para
senior yang memperingati kami sangat tegas dan berwibawa.
Ya, hari itu seorang santri kehilangan sejumlah uang dengan nominal yang cukup
besar.
Menyikapi kehilangan uang ini para senior memang tidak pernah main-main.
Hingga subuh pun jika sang pelaku belum mengakui perbuatannya, maka kami tidak
akan tidur malam itu.
Entah ilmu apa dan dengan cara apa, sebenarnya mereka para pengurus atau
senior asrama sudah mengetahui seorang pelaku dari pencurian uang tersebut.
Namun pelajaran yang ingin didapatkan nya adalah sebuah kejujuran alias
pengakuan dari pelaku itu sendiri.
Waktu menunjukkan jam sebelas malam. Kami yang sudah mulai kumpul dari jam
sepuluh malam kala itu masih belum ada seorang pun yang mengaku atas pencurian
uang itu. Jelas saja karena tidak mungkin seorang pencuri akan mengakui
perbuatannya.
"Gak ada kapok-kapoknya kalian itu!"
"Sudah berapa kali ana ingetin, kalo dapat kiriman dari orang tua langsung
bayar kan ke ADM atau simpan di BMT, kalo ga sempat titipkan sama Mudabbir
atau Ustadz yang kalian percaya! Bukan malah disimpan di lemari!"
Tegas seorang Mudabbir atau senior tertinggi kami di asrama.
"Kalo udah kejadian gini, siapa yang kena akibatnya? Waktunya tidur,
istirahat, kita masih kumpul sampai larut malam begini!"
Lanjutnya
Hhhhh... ck..
Keluh para anggota asrama, saling menoleh kanan kiri berharap sang pencuri
angkat tangan lalu mengakui perbuatannya.
Setelah panjang lebar sang korban memaparkan kronologi kejadian dari hari
dimana dia mendapat kiriman sejumlah uang hingga ia tersadar jika uang yang
harusnya dibayarkannya ke bagian Administrasi Pondok malah hilang tak tersisa
sepeserpun.
Anak inipun (sang korban) terkenal rada ceroboh dan lumayan sering mendapat
kiriman uang dari orang tuanya. Tentu ini menjadi incaran dari oknum dikala
korban lengah.
Satu persatu tiap santri berdiri memberi kesaksian beberapa hari kebelakang
yang dirasa mendekati dengan kejadian kehilangan tersebut.
Tak satupun dari keterangan-keterangan memberikan titik terang. Penjelasan
berjalan dengan alot. Pertanyaan bertubi-tubi dari satu senior ke senior lain
yang sama sekali tidak menyimpulkan sebuah jawaban.
Riuh ricuh terdengar para santri berbisik, menganggap jika ini hanya
intermezzo karena ada seorang santri yang sedang ulang tahun.
"DIAAAMM!" Teriak seseorang senior
"Ini bukan intermezzo!" Lanjutnya
"Sini! Sini kamu! Hey kamu!" Tunjuk nya seorang santri paling belakang
yang hampir cengengesan
GUBRAAKK..!!!
Diangkat santri tersebut dari duduknya lalu didorong nya kebelakang
"Kamu kira becanda ini!"
"Angkat kaki kamu sebelah!"
"Main-main kamu! Kamu kira saya lagi becanda?"
"Tolong, tolong bedakan waktunya bermain dengan perkumpulan! Ngantuk? Sama
saya juga ngantuk!"
Tiba-tiba dari luar kamar ada sorotan senter yang mengarah kamar kami. Lalu
mengedipkan nya berulang-ulang seolah isyarat untuk meminta kami menyudahi
atas kumpulan malam ini.
"Ada apa ini? Kumpul larut malam gini belum pada tidur." Tanyanya dari
luar kamar yang samar terdengar.
Ya, seseorang tersebut adalah Ustadz yang sedang patroli ke setiap asrama
untuk meyakinkan jika santri sudah tidur dikamar nya masing-masing.
Seseorang dari senior menjelaskan.
Entah apa yang mereka obrolkan, kesimpulannya malam itu pengusutan ditutup
sementara dan akan dilanjutkan esok malam, karena melihat waktu menunjukkan
pukul 12 malam pas.
"Buat yang merasa mengambil uang korban, jangan senang dulu. Kita lanjutkan
besok malam, kalo masih belum ngaku lebih parah akibatnya! Saya beri
kesempatan sampai besok malam kalo masih belum ngaku liat saja."
Jelasnya sebelum mengakhiri perkumpulan kami malam itu
"Entah uangnya sudah habis, dipakai setengahnya, terus terang saja. Kalo ga
berani langsung menyampaikan pada kami, tulis dengan surat atau kertas!
Simpan di lemari kami atau korban."
***
Keesokan malamnya, semua santri asrama gedung satu berkumpul bersama kembali
untuk melanjutkan pengusutan kehilangan uang kemarin.
Namun suasana malam ini tak setegang malam kemarin, terlihat malam ini para
Mudabbir menemukan titik terang.
Strategi Mudabbir atau senior kali ini untuk memecahkan kasus kehilangan uang
ini adalah dengan cara menggeledah lemari masing-masing santri.
Entah atas izin Allah, setiap kehilangan di Pondok pasti saja akan ketahuan.
Tiba-tiba seorang Mudabbir yang sedang menggeledah lemari seorang santri
menemukan banyak lembaran uang kertas berwarna merah, berikut recehan-recehan
nya.
"Lemari siapa ini?"
Seseorang mengangkat tangannya
"Uang dari mana ente sebanyak itu?"
"Saya dapat kiriman" jawabnya
"Kiriman kapan? Dari siapa?" Tanya lagi Mudabbir
"Dari orang tua" jawab lagi fulan
"Siapa yang liat dia mudif?" (Mudif=dikunjungi orang tua atau saudara
dari rumah) tanya Mudabbir pada kami para santri asrama gedung satu ini
Tak seorang pun yang mengangkat tangan. Artinya tak ada yang melihat
"Siapa saksi yang liat kamu mudif?" Tanya lagi Mudabbir pada fulan yang
mulai terlihat gerak geriknya yang mulai mencurigakan
Si Fulan pun terdiam, tak bisa lagi berkutik. Seolah mulutnya terkunci rapat.
Entah mengapa, padahal ada jeda sehari mungkin baginya untuk menyembunyikan
barang bukti tersebut. Mungkin atas izin Allah dia lupa atau panik sampai
tidak kepikiran jika dia harus menyimpan uang hasil curiannya ketempat lain.
"Bukan kak, jujur itu tabungan hasil dari bulan kemarin." Alih-alih fulan
berusaha ngeles
Fulan berusaha menghindar dari tuduhan Mudabbir, karena melihat uang yang
ditemukan hanya setengah nya dari total kehilangan sejumlah Rp800rb itu
"Iya emang disini cuma ada tiga ratus ribu, tapi coba liat ini buku
tabungan kamu, kemarin kamu tiba-tiba nabung di BMT sebesar Rp400rb!"
Papar Mudabbir lain yang menemukan barang bukti lain, membuat tuduhan semakin
kuat
"Astaghfirullahal adzimm..."
"Udah jelas semua totalnya itu mendekati jumlah kehilangan uang korban.
Rp400rb kamu tabungin, Rp300rb kamu pegang."
Jelas Mudabbir
"Mau sekarang orang tua kamu kami telfon? Apa benar kamu terima kiriman
sebanyak itu?
Tanya lagi
Semua santri di asrama mulai kesal dan berdecak atas fulan yang berusaha
menghindar dari setiap pertanyaan Mudabbir.
"Tenang, tenang.. semua.."
"Liat fulan! Kasian teman kamu mau tidur! Nunggu kamu tinggal
ngaku!"
"Kamu di Pondok ini mencuri masih mending kamu! Kalo diluar kamu sudah
bonyok babak belur nih digulung warga!"
Saut seorang Mudabbir lain
Akhirnya fulan pun mengakui perbuatannya.
Meski rasa malu yang didapat, tapi semoga dengan apa yang diberikan padanya
menjadi pelajaran untuk membuatnya jera.
Fulan pun dibawa ke kantor Organisasi Pelajar Pesantren atau mungkin
jika di sekolah formal adalah OSIS yang berisikan kakak kelas tertinggi yaitu
kelas enam, yang lebih berhak menindak lanjuti dengan apa yang dilakukan
Fulan.
Fulan pun menerima pembinaan, hukuman atau punishment dengan apa yang telah
dilakukannya, meski kami geram, kami tidak membuat sewenang-wenang dengan
memukuli atau menjauhi fulan.
Meski terkadang ada beberapa kejadian yang perlu dengan kekerasan. Namun tidak
lain hal tersebut untuk menyadarkan.
Dan semoga hukuman yang diberikan pada Fulan membuat dirinya jera dengan apa
yang telah dia lakukan.
Tamat.