Berbudi tinggi dan berakhlak mulia itulah sifat anak Pesantren pada dasarnya.
Bukan ilmu yang sangat tinggi dan hafalan yang kuat, tapi sebuah
Akhlakul Karimah lah bukti seorang santri itu berhasil.
Karena setiap orang yang berakhlak pasti berilmu, namun tidak setiap orang
berilmu mempunyai akhlak, catet!
Kurang Fair rasanya jika saya hanya menuliskan artikel-artikel tentang Santri
dan Pesantren jika hanya dari sisi terangnya saja.
Untuk membuat lampu menyala, teknisi penerangan membutuhkan saluran kabel
negatif. Begitu kira-kira kata Alfa Edison.
Sebelumnya jangan salah paham terlebih dahulu, supaya tidak ada pihak yang
merasa dirugikan atau merasa kepedean dan baper, saya men
disclaimer terlebih dahulu konten ini.
Jika tulisan saya kali ini, tidak ada maksud untuk menyinggung atau
menyudutkan pihak manapun, bahkan dikira menakut-nakuti yang sedang ingin
mondok. Konten ini hanya untuk orang-orang Open-minded.
Saya merangkum dari beberapa forum yang mendekati dengan judul topik artikel
kali ini.
Namun tulisan kali ini tidak bisa di diskreditkan secara spesifik ataupun
menggeneralisir, saya hanya menyatukan beberapa opini dan forum yang menurut
saya dan mayoritas mengalami permasalahan yang sama juga meresahkan.
Dan semoga ini menjadi sebuah pembelajaran dan pencarian solusi kedepannya
agar kita menjadi individu yang lebih baik lagi. Aamiin
Ya Rabbalaalamiin
Paham ya sampai sini.
Baik, kita lanjut ke Judul artikel kita kali ini: Sifat Anak Pesantren dan
Sisi Gelapnya
Seperti yang sudah saya uraikan pada paragraf pertama diatas tadi, Sifat-sifat
seorang santri adalah orang yang berilmu dan berakhlak mulia, mandiri, penuh
tanggung jawab dan disiplin dan masih banyak lagi.
Setelah saya berselancar di internet mencari-cari inspirasi untuk menulis
konten dengan judul kali ini, rata-rata setiap situs dan blog menceritakan hal
yang sama, kebanyakan hal-hal positif.
Padahal yang saya alami ketika mondok, tidak semulus itu kenyataannya.
Maka dari itu, kini saya akan menjelaskan dari perspektif yang berbeda tentang
Sifat anak pesantren, yaitu dari sisi gelapnya.
Sifat Anak Pesantren dan Sisi Gelapnya
1. Senioritas
Tenang, untuk Anda seorang santri yang sedang membacanya saya paham betul jika
senioritas ini bertujuan untuk beralasan menumbuhkan rasa menghormati kepada
senior atau atasan.
Dan kelak ketika menjadi pengurus agar lebih dihargai, karena jika terlalu
dekat atau akrab dengan junior sewaktu-waktu ketika menjadi pemimpin akan ada
rasa seperti disepelekan.
Sukur-sukur jika junior yang dekat dengan kita tau batasan, dimana waktu
bermain dimana waktu bertugas, jika tidak rusak sudah hubungan.
Terkadang senioritas ini pun disalahkan gunakan oleh "oknum". Ya karena
tidak kebanyakan, tapi ada sebagian.
Mereka memanfaatkan senioritas ini untuk membully bahkan puncaknya memeras.
Hmm, entahlah..
Jika saja saat itu teknologi sudah secanggih saat ini, mungkin bisa ramai.
Sepele tapi tak bisa disepelekan.
Sudah sangat sering terjadi kasus permusuhan, terlebih diantara santri putra.
Dimana fitrahnya seorang lelaki adalah harga diri.
Yups, tapi separah apapun pergesekan antara senior dan junior. Santri tetaplah
santri.
Mereka yang tetap keras hati dan pikirannya, sudah pasti terkena hukum alam.
Mereka biasanya tidak akan bertahan lama di Pesantren.
Dengan Arifnya Ustadz dan Pengasuhan santri sudah pasti berada di garda
terdepan.
2. Semakin aktif, semakin alim semakin di nyinyiri
Pada forum diskusi tersebut seseorang mengeluhkan kealimannya dan keaktifan
hingga kekritisannya saat ia di pesantren.
Ia di benci bahkan dibully oleh teman-temannya hanya karena terlalu aktif dan
di bilang so suci.
"What's? Wait..
Benar, santri yang terlalu aktif atau seorang anak proaktif, teman-temannya
berusaha menurunkan mentalnya dengan menyindirnya "so aktif" dan
"so suci"
Beban mental.
Mungkin untuk teman-temannya itu hanya senda gurau, namun tidak semua orang
mencernanya sedemikian rupa.
Ada yang langsung sakit hati, merubah sifat nya 90 derajat menjadi nakal,
karena menghindari bullying tersebut.
Silahkan baca artikel saya sebelumnya
mengapa anak atau putra/putri Anda harus di berikan proteksi atau pondasi
awal dari orang tua
sebelum masuk Pesantren.
3. Pemikiran kolot dan keterbelakangan
"Diri ana lebih baik dari ente, lihat ranking dan kelas ana, belajar dulu
yang rajin kalo sudah nyusul ranking ana, baru kita debat."
Mental Block
Sebenarnya diluar pesantren pun ini sudah mengakar, pernahkah Anda mendatangi
sebuah kajian, lalu Anda di judge salah jalan dan semoga mendapat
hidayah?
Ah sudahlah, saya tidak ingin memperpanjang lebar hal ini.
4. Stagnan circle
Kekompakan, kesolidan dijunjung tinggi mentah-mentah. Prinsip sama rasa sama
rata ditegakkan.
Lebih baik semua kena hukuman dari pada ada yang keenakan karena tidak
dihukum. Ambyar
Sepahit itu pembaca budiman yang saya alami ketika mondok.
Hingga saat ini ada yang mempertahankan prinsip ini, mereka tidak ingin keluar
dari circle demi mempertahankan pertemanan.
Rela hidup tidak maju, daripada dihina egois.
5. Gay bukan dongeng
Berat rasanya saya menulis artikel pada segmen ini. Tapi inilah pers.
Baik buruknya Informasi harus dikabarkan.
6. Liar dan Gegar Budaya
Ya, lagi-lagi santri putra, selesai nya pendidikan dari pondok, santri yang
hanya makan tidur, biasanya paling sering terkena dampak ini.
Terasa seperti keluar dari penjara.
Tak ada lagi penegak disiplin, tak ada lagi bell, tak ada lagi tugas dan
tanggung jawab menumpuk.
Bukan seperti yang diharapkan keluarga, santri ini malah pemalu dan jarang
bersosialisasi dengan lingkungan.
Sensitif dengan lawan jenis.
Ingin mencoba segala hal, liar.
Kesimpulan
Baik, cukup.
Mungkin jika diuraikan semua akan sangat banyak.
Kesimpulannya, poin-poin diatas saya hanya mengutip dari beberapa forum dan
situs yang rata-rata menghadapi permasalahan yang sama.
Pun yang saya rasakan sekaligus, teman saya pun jika membaca tulisan ini, saya
pasti dibilang sedang curhat.
Padahal memang benar.
Ya ini hanya sharing, mari bersama-sama kita mencegah dan mencari
solusinya. Bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk dihadapi bersama.
Tulisan saya diatas bukan berarti setiap Pesantren seperti itu, hanya saja melihat dari perspektif dan sudut pandang yang berbeda.
Sebenarnya masalah diatas tidak seberapa bahkan tidak sebanding dengan kasus
dan sisi gelap di sekolah formal jika ingin dibandingkan dari sisi gelapnya.
Tidak ada sistem yang sempurna.
Ketidak sempurnaan itulah menjadi sebuah catatan amal kebaikan kita kelak di
hadapan-Nya.
Wallahu'alam